Minggu, 01 Agustus 2010

Renungan Keinsapan


Ada Apa Dengan Cinta

Suatu hari, tiga tahun yang lalu, saya sedang bete berat. Entah mengapa, dunia terasa sempit, sumpek dan menyebalkan. Padahal banyak pekerjaan yang mestinya saya selesaikan. Laporan praktikum yang bertumpuk, makalah-makalah serta seabrek PR dari banyak organisasi yang kebetulan saya ikuti. Dalam perjalanan pulang menuju kost, mata saya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah wartel. Tanpa tahu mau menelepon siapa dan untuk apa menelepon, saya dengan linglung memasuki salah satu kabin. Sebuah nomor tiba-tiba terpencet otomatis. 8411063! “Assalamu’alaikum…” sebuah suara yang mendadak terasa merdu terdengar.

Seperti ada suntikan kesegaran yang luar biasa, mendadak semangat saya bangkit. Percakapan yang mengalir begitu saja telah mengubah dunia yang tadinya abu-abu menjadi penuh warna. Pemilik suara itu adalah seorang sahabat yang sangat dekat dengan saya. Meskipun jarang bertemu, kami yakin, ada cinta yang menginspirasikan berbagai ide mulai dari yang sederhana sampai briliyan. Cinta itu yang kami yakini menjadi pemotivator dari setiap langkah yang kian hari kian berat.

Ah, Cinta…
Saya selalu terpana dengan cinta. Membuat pikiran ini dengan susah payah membayangkan seorang Abu Bakar yang tiba-tiba berlari kesana kemari, kadang ke depan, ke samping, lantas tiba-tiba ke belakang rasulullah. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Di belakang, orang-orang kafir Quraisy mengejar, bermaksud membunuh Muhammad SAW. Tentu saja sang nabi terheran-heran. Beliau pun bertanya dan dijawab oleh Abu Bakar, bahwa ketika ia melihat musuh ada di belakang, maka Abu Bakar berlari ke belakang. Jika musuh di depan, Abu Bakar lari ke depan, dan seterusnya. Abu Bakar siap menjadi tameng buat rasulullah. Agar jika ada musuh menyerang, ia lah yang lebih dulu menerimanya.

Itulah cinta. Sama seperti ketika mereka akhirnya kecapekan dan menemukan sebuah gua. Abu Bakar melarang Rasul masuk sebelum ia membersihkan terlebih dulu. Saat membersihkan, Abu Bakar melihat 3 buah lubang. Satu lubang ia tutup dengan sobekan kain bajunya, lalu yang dua ia tutup dengan ibu jari kakinya. Rasul pun tidur di pangkuan Abu Bakar. Pada saat itulah, Abu Bakar merasakan kesakitan yang luar biasa. Ia digigit ular. Namun ia tidak mau membangunkan Rasul dan terus menahan sakit hingga air matanya menetes. Tetesan itu menimpa rasul dan terbangunlah beliau. Berkat mukzizat Rasul, sakit itu pun berhasil disembuhkan. (Sumber, ‘Berkas-berkas Cahaya Kenabian’, Ahmad Muhammad Assyaf).

Ada apa dengan cinta? Kalau Mbak Izzatul Jannah (salah seorang teman dekat juga) menjawab, “ada energi disana”. Saya sepakat dengan pendapat itu. Bukan karena beliau adalah teman dekat, tetapi karena saya telah merasakannya. Dan saya ingin berbagai cahaya dengan kalian.

Cinta Positif vs Cinta Negatif

Jujur, saya mungkin kurang ngeh jika bicara masalah cinta, karena saya belum menikah. (He…he, mohon doanya ya…). Saya pun alhamdulillah belum sempat pacaran, karena Allah keburu ‘menyesatkan’ saya dari jalan kemaksiatan menuju jalan yang terang benderang, jalan yang kita yakini bersama kebenaran dan keindahannya. Namun justru itulah, saya lantas menikmati cinta yang sejati. Lewat para sahabat yang mengantarkan diri ini semakin hari semakin berkarat (maksudnya kadar karatnya makin tinggi, seperti logam mulia itu lho…) alias semakin baik. Serta tidak ketinggalan, cinta kepada sang pemberi kehidupan alias cinta hakiki yang tertinggi.

Seorang sahabat pernah bernasyid di depan saya, menukil sebuah nasyid yang dipopulerkan oleh SNADA.

Ingin kukatakan, arti cinta kepada dirimu dinda
Agar kau mengerti, arti sesungguhnya
Tak akan terlena dan terbawa, alunan bunga asmara
Yang kan membuat dirimu sengsara

Cinta suci luar biasa, rahmat sang pencipta
Kepada semua hamba-hambanya

Jangan pernah kau berpaling dari cinta
Cinta dari sang maha pencipta
Kau pasti tergoda…

Nyanyian itu membuat saya merenung panjang lebar. Yups, ketemu deh. Ada cinta positif, ada juga cinta negatif. Jika cinta adalah energi, maka akan muncul pula energi positif dan energi negatif.

Adanya energi membuat semua terasa ringan. Dengan energi, gampang saja si Edo misalnya, menghajar serombongan preman yang mengusili pacarnya, Dewi. Konon cinta bisa membuat si penakut menjadi pemberani. Dengan energi pula puasa ramadhan terasa begitu indah, meskipun sebulan penuh kita diperintahkan untuk tidak makan dan minum dari terbit hingga terbenam matahari.

Kendali, itu kuncinya

Energi itu akan di dihasilkan oleh reaktor hati, pembedanya adalah faktor pengendali. PLTN adalah sebuah tempat berlangsungnya reaksi nuklir yang terkendali, sehingga energi yang dilepaskan dapat menjadi komponen yang berfungsi untuk manusia. Itu energi positif.

Jika reaksi nuklir tidak terkendali, bayangkanlah ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan ratusan ribu manusia dan menimbulkan kerugian yang luar biasa. Itu energi negatif.

Karena reaktor tersebut adalah hati, maka semua manusia pasti memilikinya. Positif atau negatif tergantung pada pengendalian manusia tersebut terhadap hati yang dimiliki. Seperti sabda rasulullah SAW :

“Inna fii jasadi mudhghotan Idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu. Waidza fasadat fasadal jasadu kulluhu. Alaa wahiyal qolbu.”

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruhnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruhnya. Ingatlah bahwa ia adalah hati. (HR Bukhari Muslim).

Cinta Negatif, Apaan tuh?!

Adalah cinta yang dialirkan dari energi tak terkendali. Ini nich, cinta yang merusak. Terlahir dari syubhat dah syahwat. Ngakunya moderat, padahal kuno berat. Bagaimana tidak kuno, cinta yang lahir dari syahwat mulai ada sejak jaman bauhela, bagaimana mungkin orang yang tidak pacaran disebut sebagai ‘ketinggalan jaman?’

Cinta negatif kini telah membanjiri pasaran, menebar kemadhorotan. Remaja gelagapan dan tidak tahu jalan, akhirnya ikut-ikutan. Pacaran, free sex, kumpul kebo, selingkuh… mendadak jadi tren. Secara normatif, semua perempuan tidak mau melihat lelaki yang dicintai ngabuburit dengan perempuan lain. Namun anehnya, ia malah berdandan seseksi mungkin agar lelaki lain tertarik padanya.

Mana bisa kesetiaan dipertahankan jika syahwat dikedepankan?

Mau tahu korban dari cinta negatif? Kerusakan moral. Yap! Survey di Yogyakarta menyebutkan 97,05% mahasiswa di Yogya tidak perawan, Survey itu dilakukan kepada 1660 responden dan hanya 3 orang yang mengaku belum melakukan aktivitas seks termasuk masturbasi! Astaghfirullah. Terlepas dari pro dan kontra tentang kashahihan hasil survey itu, jelas… data yang tercatat menunjukan sebuah ketakutan yang luar biasa bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke Yogya.

Cinta negatif telah menjelma menjadi teroris! Bukan hanya cinta yang mengeksploitasi seks, juga cinta kepada tahta dan harta yang membuat manusia berubah menjadi serigala yang sanggup tertawa-tawa ketika mengunyah bangkai rekan sendiri.

Menggapai Cinta Positif

Cinta positif adalah cinta yang frame-nya adalah cinta karena Allah. Cinta kepada Allah sebagai cinta yang hakiki, sedang cinta kepada selain Allah dilaksanakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Jika diatas disebutkan bahwa kata kuncinya adalah ‘kendali hati’, maka jelas, untuk menggapai cinta positif, hati harus pertama kali ditundukan. Jika hati telah ditundukkan maka akan bisa kita kendalikan. Jika hati terkendali, yakin deh, seluruh jasad dan akal kita pun mampu selaras dengan sang panglimanya tersebut.

Bahasa Pena?

Jika cinta adalah energi, maka yang terlahir dari cinta adalah produktivitas. Pena hanya salah satu dari banyak pilihan, tergantung pada potensi masing-masing. Saya memilih pena karena profesi saya adalah seorang penulis. Karena bingkai kecintaan itu adalah cinta kepada Allah, maka saya akan menjadikan tarian pena saya sebagai ekspresi kecintaan kepada Allah. Serupa tapi tak sama akan dialami oleh teman-teman yang mahir dibidang lain, memasak, memprogram komputer dan sebagainya. Bukti cinta itu adalah produktivitas. So, jika kita tidak produktif, berarti tidak ada energi yang menggerakan, yang ujung-ujungnya, kamu tidak punya cinta. Kasiaaan deh Luuu.

Ada apa dengan cinta? Jawabnya : ada energi. Muaranya, produktivitas, optimalisasi potensi. Tentu saja yang kita usahakan adalah cinta positif, sehingga produktivitas yang tercetak adalah produktivitas yang positif pula.

Solo, 18 November 2002

Penulis adalah aktivis Forum Lingkar Pena dan Redaktur Majalah Pengembangan Pribadi Remaja Muslim KARIMA
Ada Apa Dengan Kita?

Saudaraku, saat mobil mewah dan mulus yang kita miliki tergores, goresannya bagai menyayat hati kita. Saat kita kehilangan handphone di tengah jalan, separuh tubuh ini seperti hilang bersama barang kebanggaan kita tersebut. Saat orang mengambil secara paksa uang kita, seolah terampas semua harapan.

Tetapi saudaraku, tak sedikitpun keresahan dalam hati saat kita melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah, kita masih merasa tenang meski terlalu sering melalaikan sholat, kita masih berdiri tegak dan sombong meski tak sedikitpun infak dan shodaqoh tersisihkan dari harta kita, meski disekeliling kita anak-anak yatim menangis menahan lapar. Saudaraku, ada apa dengan kita?

Saudaraku, kata-kata kotor dan dampratan seketika keluar tatkala sebuah mobil yang melaju kencang menciprati pakaian bersih kita. Enggan dan malu kita menggunakan pakaian yang terkena noda tinta meski setitik dan kita akan tanggalkan pakaian-pakaian yang robek, bolong dan menggantinya dengan yang baru.

Tetapi saudaraku, kita tak pernah ambil pusing dengan tumpukan dosa yang mengotori tubuh ini, kita tak pernah merasa malu berjalan meski wajah kita penuh noda kenistaan, kita pun tak pernah tahu bahwa titik-titik hitam terus menyerang hati ini hingga saatnya hati kita begitu pekat, dan kitapun tak pernah mencoba memperbaharuinya. Saudaraku, ada apa dengan kita?

Saudaraku, kita merasa tidak dihormati saat teguran dan sapaan kita tidak didengarkan, hati ini begitu sakit jika orang lain mengindahkan panggilan kita, terkadang kita kecewa saat orang lain tidak mengenali kita meski kita seorang pejabat, pengusahan, kepala pemerintahan, tokoh masyarakat bahkan orang terpandang, kita sangat khawatir kalau-kalau orang membenci kita, dan berat rasanya saat orang-orang meninggalkan kita.

Tetapi juga saudaraku, tidak jarang kita abaikan nasihat orang, begitu sering kita tak mempedulikan panggilan adzan, tak bergetar hati ini saat lantunan ayat-ayat Allah terdengar ditelinga. Dengan segala kealpaan dan kekhilafan, kita tak pernah takut jika Allah Yang Maha Menguasai segalanya membenci kita dan memalingkan wajah-Nya, kita pun tak pernah mau tahu, Baginda Rasulullah mengenali kita atau tidak di Padang Masyhar nanti. Kita juga, tak peduli melihat diri ini jauh dari kumpulan orang-orang sholeh dan beriman.

Saudaraku, tanyakan dalam hati kita masing-masing, ada apa dengan kita? Wallahu a'lam bishshowaab. (Bayu Gautama)
Adil Saja Tidak Cukup
Untuk apa anda bekerja? Itu pertanyaan yang terkadang sulit untuk dijawab, karena banyak faktor yang menyebabkan orang untuk meredefinisi dan mencari argumentasi setiap jawaban yang bakal keluar dari mulutnya, atau setidaknya hinggap dibenaknya. Banyak hal yang melatarbelakangi niat seseorang dalam bekerja, jika mengikuti teori Maslow, mulai dari kebutuhan terendah seperti makan (dan kebutuhan fisiologis lainnya), status sosial sampai kebutuhan untuk aktualisasi diri. Dan seringkali jawaban-jawaban yang keluar atas pertanyaan tadi, adalah realita yang melatarbelakangi kualitas pekerjaan seseorang.

Saya pernah ditanya, kenapa senang sekali berpindah-pindah tempat kerja. Awalnya saya juga pernah dibuat bingung oleh orang yang senang sekali berganti pekerjaan. Namun seiring perjalanan waktu, penglihatan dan apalagi langsung mengalami, saya jadi tak perlu bertanya-tanya lagi. Dan kepada yang bertanya kepada saya, saya hanya bertanya balik, kenapa Anda betah berlama-lama bekerja di satu tempat? Saya yakin, jawaban saya dan dia, akan ada garis biru yang menghubungkan kesamaannya.

Orang yang bekerja sekedar untuk mencari makan (baca: uang) akan selalu berorientasi pada seberapa banyak yang bisa didapat dan seberapa banyak pula tenaga dan pikiran yang harus diberikan. Jika sedikit bayarannya, maka sedikit pula yang dilakukan. Hal ini menjadi wajar karena tidak sedikit pula perusahaan yang mengukur prestasi dan menilai kinerja karyawannya dengan materi, sehingga secara tidak langsung membudayakan kerja berdasarkan materi. Namun satu hal yang patut direnungkan oleh setiap perusahaan, ini akibat dari bentuk kapitalisme yang membudaya, bahwa kepada yang membayar lebih tinggi, kepada merekalah seseorang akan memberikan loyalitasnya. Dan ini mesti menjadi pelajaran kenapa banyak orang kemudian beralih dan menggeser tempat duduknya dari satu gedung ke gedung lainnya.

Oleh karenanya, prinsip the right man on the right place saja tidak cukup, mesti ditambah in the right time. Seseorang yang profesional akan merasa bukan waktunya lagi berada di tempat yang meski tepat, tetapi ruang dan kesempatannya untuk mengaktualisasikan dirinya semakin sempit. Bisa jadi ia masih dibutuhkan ditempatnya bekerja karena mungkin sangat jarang menemukan SDM bermutu sepertinya, tetapi jika kemudian ia merasa mendapatkan kesempatan dan ruang baru baginya untuk lebih banyak berbuat, itulah yang dicarinya. Dan biasanya, jika sudah demikian, orang-orang seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan emas yang datang. Baginya, kesempatan seringkali tidak datang dua kali.

Lain halnya dengan orang-orang yang bekerja berlatarbelakang materi, jika tak sesuai materi yang didapat, maka pilihannya cuma dua, keluar dari perusahaan atau bekerja dibawah standard. Kalaupun akhirnya dia pindah dan mendapat pekerjaan baru, jika tak merubah cara pandangnya terhadap pekerjaan yang juga merupakan amanah, maka tak heran jika di tengah jalan, orang-orang seperti ini akan melemah kembali, dan bekerja pun kembali seusai dengan typenya, tergantung bayaran.

Orang yang bekerja dibawah standard dari yang seharusnya dikerjakan, padahal ia digaji dengan standard yang sudah disesuaikan dengan apa yang menjadi kewajibannya, adalah orang yang zhalim. Dan semestinya, seorang mukmin tidak memiliki mental dan karakter demikian. Bahkan adil saja tidak cukup. Orang yang bekerja sesuai dengan standard dan memenuhi semua kewajibannya, adalah orang yang bersikap adil. Dan ia tidak berdosa dengan keadilan yang sudah dipenuhinya. Namun saat ini, ada trend baru orang-orang dalam bekerja, yakni bekerja lebih dari waktu, standard dan kewajiban yang semestinya dilakukan. Yang demikian, sungguh telah berbuat Ihsan.

Aktualisasi diri, tingkatan tertinggi kebutuhan hidup manusia menurut Maslow, dalam kamus Islam adalah Ihsan. Tak mempedulikan berapa banyak ia dibayar, tetapi karena ia memandang pekerjaan sebagai satu bentuk dari ibadah dan penghambaan kepada Allah, maka seperti halnya ibadah-ibadah yang lain, maka dalam bekerja pun orientasinya tidak materi semata. Baginya pekerjaan adalah amanah dan ia mesti memelihara amanah tersebut sebaik-baiknya, bahkan meski untuk melakukan amanah tersebut, sedikit apresiasi yang didapatnya. Tidak ada kamus kecewa, karena baginya, selesai melaksanakan kewajibannya dan bahkan lebih baik dari target waktu dan standard semestinya adalah kepuasan tersendiri.

Kepada Rasulullah, Jibril pernah bertanya tentang Ihsan, dan Rasulullah mengatakan, “... Kamu beribadah kepada Allah seolah kamu melihat Allah, walaupun kamu tidak bisa melihat Allah, sesungguhnya Allah melihat kamu”. Orang-orang yang berbuat Ihsan, tidak mempedulikan atasannya melihat atau tidak pekerjaannya, karena ia teramat yakin dengan ketentuan Allah tentang balasan berbuat Ihsan. Jika bukan manusia yang memberikan apresiasi karena tak mengetahui pekerjaannya, Allah-lah yang akan memberikan penghargaan. Adakah yang lebih baik dari penghargaan Allah? Wallaahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu Gaw)
Akhir Sebuah Perjalanan
Ada nyeri yang tertera di hati. Ada gamang yang mengguncang-guncang perasaan. Sekali lagi, sebuah peristiwa menghentak jiwa. Dan membuat saya bertanya-tanya: Kira-kira seperti apa akhir perjalanan hidup saya? Entahlah, saya tidak tahu dan yakin sepenuhnya bahwa saya tak akan pernah tahu. Mungkin dengan cara yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya, atau mungkin dengan cara yang jusutru selalu saya bayangankan sebelumnya.

Sebagaimana tak pernah terlintas dalam benak saya, beliau akan mengalami kejadian tersebut dan meninggal karenanya. Senin sore itu menjelang maghrib, menerima sms dari seorang kawan. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Ibu Agus Haryanto meninggal karena perampokan. Besok kita melayat jam 8. Begitu bunyinya.

Sungguh, rasanya tak percaya sewaktu saya membacanya. Tapi, sms itu memang benar adanya. Berita di TV dan di radio yang saya dengar kemudian menegaskan kebenaran peristiwa tersebut. Tanpa dapat dicegah, peristiwa perampokan itu membayang dan terlintas-lintas di benak saya. Membawa kengerian (membayangkan luka bacokan di leher dan tangan), membawa rasa kasihan (membayangkan keluarga dan anak-anaknya yang baru mulai beranjak dewasa, bahkan anak perempuannya satu-satunya (tiga putra lainnya laki-laki) baru saja menikah). Bagaimana rasanya jika saya yang mengalaminya?

Tapi kematian memang tidak memilih cara, usia dan status. Ia bisa menimpa siapa saja, usia berapa pun dan dengan cara yang bagaimanapun. Pula, usia, status dan cara itu bukanlah MASALAH. It’s not the matter, it’s not the point how does somebody die. Yang menjadi masalah adalah dalam kondisi bagaimana kita ketika meninggal. Dan meninggalnya Ibu Agus Haryanto di tangan perampok memberi pelajaran yang dalam bagi saya.

Wanita paro baya ini dikenal ramah, energik, baik pada semua orang tapi juga sekaligus seorang aktifis yang tegas. Saya tidak mengenal beliau secara dekat. Hubungan kami hanyalah hubungan antara saya sebagai salah satu aktifis Forum Silaturahmi Muslim Departemen Keuangan dan beliau adalah seorang anggota pimpinan Dharmawanita Departeman Keuangan, yang kebetulan sama-sama memiliki konsern tinggi terhadap dunia anak-anak dan wanita/karyawati, juga keluarga. Kesamaan konsern inilah yang membuat kami sering mengadakan kerjasama, diantaranya adalah mengadakan seminar tentang keluarga dan anak serta mengadakan perlombaan bagi karyawan/karyawati departemen keuangan dan keluarganya dalam rangka Memperingati Hari Anak Nasional.

Selain itu, selama lebih dari dua tahun terakhir, kami terlibat dalam kerjasama membangun Tempat Penitipan Anak (Child Care Center) di Departemen Keuangan sebagai upaya pemberian fasilitas bagi ibu-ibu bekerja agar dapat menyempurnakan pemberian ASI kepada bayi. Proses ini sudah memakan waktu sedemikian lama, dan nyaris rampung berkat dukungan dan andil besar dari Ibu Agus. Bahkan, sedemikian lamanya hingga saya bahkan telah mengundurkan diri dari Tim. Tapi selama itu beliau tak kehilangan stamina. Saat kami lemah karena hambatan yang sedemikian banyak dan membuat proyek ini nyaris mustahil, beliaulah yang ‘memarahi’ dan menyemangati bahwa proyek harus terus berjalan, apapun hambatananya. Entahlah, setelah beliau tiada, saya tidak tahu akan bagaimana kelanjutan proyek ini. Sebagaimana saya juga tidak tahu, entah ada berapa banyak rencana dan proyek lain yang sedang beliau kerjakan saat ajal menjemput.

Kematian telah menjadi garis pembatas, yang menghentikan semua yang beliau lakukan. Tapi, sekali lagi, itu semua tak menjadi soal. Karena Allah telah menjanjikan pahala bagi sebuah usaha, sebuah proses, bukan hasil. Selama sebuah aktifitas merupakan amal shaleh yang dilandasi keikhlasan, maka pahala tetap ditangan meskipun kematian menghentikan upaya itu. Apalagi jika saat meninggal, yang bersangkutan berada dalam kondisi terbaik.

Dan demikianlah saya harapkan pada Ibu Agus Haryanto. Saat peristiwa perampokan itu terjadi, beliau dalam kondisi sedang berpuasa senin kamis. Beliau meninggal dalam situasi memepertahankan amanah yang dia pegang: Uang milik Dharma Wanita Departemen Keuangan. Betapa manisnya, betapa indahnya, meskipun ajal menjemput lewat tangan perampok bengis. Berbahagialah mereka, orang-orang yang menemui ajal dalam kondisi terbaik. Semoga beliau termasuk dalam kategori mati syahid, begitu ungkap Bp Mar’I Muhammad dalam pidato pengantar pemberangkatan jenazah. Selamat jalan, Ibu! Selamat jalan sahabat, selamat jalan mujahidah!

Dan, tiba-tiba saja saya ingin mengubah doa dan permohonan saya yang saya titipkan kepada dua sahabat saya yang akan berangkat menunaikan ibadah haji akhir bulan ini.

Kawan, tidak, jangan mintakan saya karir yang sukses, rizki yang baik, jodoh yang sholeh ataupun kesuksesan duniawi lainya. Biar, biar Allah saja yang menentukan itu bagi saya, seperti apapun. Saya hanya minta mohonkan satu saja: Agar saya kuat, tegar dan benar menjalani semua takdirNya, hingga ketika saya tiba pada batas waktu usia saya, saya dapat mengakhirinya dengan baik, dengan manis, dengan indah. (Sungguh, saya takut ajal itu menjemput saat saya sedang berkeluh kesah, berputus asa terhadap rahmatNya. Sungguh, saya takut batas akhir kehidupan saya tiba saat saya sedang bermaksiat kepadaNya. Sungguh saya khawatir, ketika waktu telah ditutupkan atas saya, diri saya tengah bergumul dengan kesia-siaan. Sungguh, saya khawatir, saat saya meninggal, hati saya tengah diliputi kecewa, kemarahan atau kebencian).

Kawan, tolong mohonkan itu pada Tuhan! Tuhan, mohon kabulkan doaku!

(@azi, sekedar ucapan selamat jalan untuk Ibu Agus Haryanto: cukuplah kematianmu menjadi pelajaran bagi kami, manusia yang ditinggalkan)
Aku Yakin Aku Tak Sendiri
Sungguh. Hingga saat ini aku belum bisa menerjemahkan rasa hatiku sendiri. Sejak pertama kali suamiku mengatakan niatnya untuk melanjutkan studi ke negeri jiran setahun lalu, hingga sore ini, di mana besok suamiku harus berangkat, aku masih merasa asing dengan perasaanku.

Bahagia! Beberapa orang mengatakan aku harus demikian. Karena kesempatan ini adalah karunia yang tidak dapat dinikmati oleh semua orang.

Sedih? Itu yang ada di lubuk kalbuku, saat kulihat putra kami yang belum juga genap dua tahun harus tumbuh berkembang tanpa ayah di sisinya, untuk sementara waktu.

Ah ... biarlah semuanya mengalir seperti air. Biarlah semuanya diatur oleh Dzat Yang Maha Mengetahui kesudahan hamba-Nya. Biarlah!

Memang hanya itu yang selama ini mengakhiri perenunganku, tentang hidup kami setelah suamiku berangkat. "Sabar ya, Sayang. Toh nanti kamu pun akan menyusul. Berdoalah semoga Allah segera mengumpulkan kita kembali dalam keadaan yang lebih berbahagia ... " demikian kata-kata yang selalu diucapkan oleh suamiku, untuk menenangkanku. Aku pun paham, bahwa dia juga terhibur dengan kata-kata itu. Dan, akhirnya, hanya senyum yang menyudahi pembicaraan kami. Senyum penuh harapan, akan tercapainya cita-cita.

***

Allah memang mempunyai cara tersendiri untuk menata kehidupan hamba-Nya. Aku merasa amat bersyukur. Enam bulan lalu, perusahaan tempat suamiku bekerja merumahkan seluruh karyawannya. Saat itu, kami sendiri merasa gundah, terlebih berita di media menyebutkan bahwa ini adalah awal dari PHK. Ah ... padahal sebelumnya kami sama sekali tak pernah membayangkannya. Memang, kadang niatan untuk mencari nafkah di tempat lain muncul, tapi itu hanya suatu wacana, bukan sebuah keseriusan. Dan, tatkala musibah itu datang, kami pun khawatir.

Doa pun mengalir tiada henti, memohon kemurahan rizki-Nya. Memohon ketenangan batin, mengharap situasi segera berubah. Alhamdulillah, dua pekan setelah itu, berita gembira datang. Setelah empat kali mengirimkan pengajuan beasiswa, Allah pun menjawabnya. Seorang professor salah satu perguruan tinggi negeri di Malaysia, mengijinkannya mengerjakan sebuah proyek, sembari mengambil pendidikan master. Subhannallah.. Alhamdulillah, pertolongan Allah memang begitu dekat buat semua hamba-hamba-Nya.

Hal yang dulu sempat menjadi masalah tak terpecahkan dalam setiap percakapan kami, akhirnya berubah menjadi sebuah anugerah yang tak ternilai. Jika dulu, aku sangat menentang keinginannya untuk melanjutkan studi karena kami harus berpisah, malah akhirnya aku menjadi pendukung utamanya. Subhannallah ... Allah memang Maha membolak-balik hati hamba-Nya.

***

Sore ini, kembali aku merenung. Setelah dukungan demi dukungan kukerahkan padanya untuk persiapan keberangkatannya, aku tercenung. Apa yang nanti akan terjadi saat kami berpisah? Bagaimana aku bisa meng-handle semua pekerjaan rumah tangga yang dulu kami kerjakan berdua, bahkan bertiga dengan pengasuh anakku? Kepada siapa aku harus menumpahkan segala uneg-uneg setelah lebih dari delapan jam aku bekerja di kantor? Bagaimana aku harus menjelaskan kepada bocah kami, jika nanti dia merengek menanyakan ayahnya?

Beribu pertanyaan bermunculan di benakku. Namun tak satu pun yang terjawab. Semuanya bak misteri.

Hingga adzan maghrib berkumandang, aku masih belum menemukan jawabannya.

Kuambil air wudhu dan kutunaikan sholat. Aku berencana untuk menumpahkan segala rasaku pada Sang Khalik, usai sholat nanti.

Dan air mataku pun tak bisa kutahan lagi saat kata demi kata terurai, tertuju kepada-Nya. Aku memang masih bisa menahan emosi dan air mataku di depan suamiku. Karena aku tak ingin semangatnya jatuh kembali setelah beribu dukungan kuberikan kepadanya. Aku percaya akan tujuannya, menuntut ilmu untuk berusaha mengubah nasib kami.

Doakan ayah dapat ilmu yang manfaat ya, Ma, begitu kalimat yang selalu diucapkannya jika kami berbincang tentang rencana itu.

Namun, apakah aku mampu menyembunyikan segala kesedihan dan kekhawatiran hati ini kepada-Nya? Kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui hal yang nyata dan yang ghaib? Tidak! Tentu tidak. Aku tidak dapat berbohong kepada-Nya.

Sekarang aku mulai memahami, bahwa hatiku memang sedih. Aku memang khawatir ... aku memang takut.

Namun semua kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan yang kurasakan harusnya tidak boleh terjadi.

Aku harus pasrah.. harus tawakal. Karena rencana itu tidak akan terjadi kecuali atas kehandak-Nya. Bukankah sebelumnya aku selalu berdoa meminta keputusan yang terbaik? Jika kemudian Allah menganugerahkan hal ini padanya, tentunya ini juga terjadi atas kehendak-Nya.

Aku harus tegar. Aku harus ikhlas.

Aku harus tetap menjalankan kehidupanku dengan sebaik-baiknya. Aku masih harus terus mendidik buah hati kami, walau tanpa ayah disampingnya. Apa pun yang terjadi, air mataku tak boleh menetes di depan putraku.

Aku yakin aku tidak sendiri. Ada Allah.. Dzat Yang Maha Pemurah ... Dzat yang tak pernah kering kasih sayang-Nya ... Dzat Yang Maha Welas Asih ...Dzat Yang Maha Perkasa.

Kepada-Nya lah aku harus mengadukan setiap hal yang kuhadapi. Saat masalah datang. Saat kelelahan mendera jiwa dan raga. Saat beragam pernik kehidupan harus kulintasi.

Aku teringat petikan nasyid yang dikumandangkan Raihan:

Selangkah ku kepada-Mu.
Seribu langkah kau padaku ...


Selama kita berusaha mendekat kepada-Nya, insya Allah Dia juga akan mendekat pada kita, seribu kali.

Doa. Hanya melalui doa-doa panjanglah aku akan mengharap rahmat-Nya. Agar cita-cita mulia yang kami impikan, bisa menajdi sebuah kenyataan.

antariksa@eramuslim.com
Untuk suamiku: berdoalah agar keikhlasan selalu bertambah di hati kita.
Aku dan Rabbku
“Basahilah lidahmu dengan dzikir” duh.. sudah berapa kali saya denger hadist ini tapi …waktu yang digunakan untuk berdzikir masih sedikit, padahal Allah berfirman “AKu bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku”. Allahu Akbar. Luar biasa, mencoba untuk melakukan variasi dalam berdzikir kenapa tidak ? La illahaillallah adalah sebaik2 dzikir …wueshh pikiranpun mulai menerawang balasan apa yang akan Allah kasih jika saya mengucapkan Laillahailallah 1x apakah senilai uang 1 juta,10 juta atau 100 juta, lebih, pasti lebih dari itu di hadapan Rabbul Izzati. Subahannallah. Rugiii…..berapa sudah waktu yag hilang, uang yang hilang, istana yang tertunda di surga nanti – InnaLillahiwainaillaihi’irojiun. Ga papa kan berdagang dengan Allah.

Imam Al Ghazali dalam risalahnya Al Asma Al Husna menuliskan kecintaan kepada Allah bisa ditingkatkan dengan tiga cara ; (i) mengingatnya (ii) mempercayainya (iii) mempertahankannya. Begitu pula Pak Ary Ginanjar dalam bukunya “Rahasia membangun kecerdasan Emosional dan Spiritual” beliau menulis bahwa seorang hamba bisa menjadi manusia yang luar biasa jika mau meneladani sifat-sifat Allah dengan cara mengingat-ingatnya dan meneladani sifat-sifat-Nya.

Sesungguhnya antara hamba dengan Rabbnya ada 2 panghalang ; (i) ilmu dan (ii) ego (Aku).

Perasaan jenuh, bosen, mandek atau tidak ada peningkatan terkadang datang pula, tapi ingat pesan “yang mencari akan menemukan” ada secercah harapan untuk mencari lagi, baik itu dari buku, artikel baik itu di majalah atau di internet, seminar , maupun taklim - apa saja. Alhamdulillah masih ada rasa haus yang belum terpuaskan dengan minuman yang standard. Mencoba untuk flash back ke zaman para sahabat yang memiliki tingkat keimanan yang mempesona dan berdecak kagum setiap kali membaca kisahnya, sudah tentu pengetahuan mereka tentang surga, neraka, negri akhirat dan segala sesuatu yang terjadi didalamnya berbeda dengan pengetahuan saya dan itu mungkin yang membuat tingkat keimanan saya seolah tak bergerak.

Ego, Aku “barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal dirinya maka tidak ada waktu untuk mencari kesalahan orang lain”. Ada perasaan aneh menghampiri ketika mencoba berlama-lama bercermin. sudah berapa jauh saya mengenal diri saya dengan baik dan sudah berapa lama saya menyadari begitu sangat rentannya melakukan kesalahan setiap detik.

Menjadi milik-Nya bukan sebaliknya menjadikan Allah sebagai milik saya dan mengikuti semua keinginaan saya – Naudzubillahiminzalik, kebodohan apalagi yang saya lakukan berlarut-larut. STOP. “Ya Rabb biarkan aku menjadi milik-Mu selamanya…menyatu bersama-Mu, biarkan jiwa ini terbakar oleh cahaya-Mu..cinta-Mu”.

Teringat kembali firman Allah SWT “Sesungguhnya Aku mengikuti perasaan hamba-Ku terhadap-Ku” kenapa tidak saya coba untuk mengatakan ke diri saya sendiri dengan menggunakan 3 metode dari imam Al Ghazali diatas : “saya selalu bersamaMu ya Allah” (bukannya saya ingin bersamaMu), “saya selalu mencintaiMu ya Rabb” (bukannya saya ingin mencintai-Mu), “saya selalu merindukan-Mu ya Tuhanku”. Ada perasaan puas yang mengalir, seolah-olah sesuatu yang sudah tercapai dan tinggal menikmati saja perjalanan hidup bersama Al Malik, Al Aziz. Perasaan tenang, aman, damai, bahagia yang selama ini dicaripun mulai rajin menjenguk orang pesakitan seperti saya. Wallahua'lam bi shawab. (yudha_bs@yahoo.com.sg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar